SWUHREP JAGAD GINONJING

MAHESASORA, LEMBUSORA dan JATHASORA penguasa Kerajaan Guakiskenda dengan kesaktiannya melabrak Kahyangan Jonggring Salaka ingin mempersunting Dewi Toro kembaran Dewi Tari. Para dewa kewalahan menyerahkan masalahnya pada Subali dan Sugriwa. Keberhasilan Subali beranugerah mempersunting Dewi Toro, sedang Dewi Tari kemudian dipersunting Rahwana. Petaka di Suralaya mengawali petaka di bumi, dibarengi kawedarnya Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, hamedar empat prabot dasar hidup dan kehidupan manusia oleh Wisrawa dan Sukesi, Jagad Ginonjing.

 HANOMAN dilahirkan Dewi Anjani dalam perwujudan yang menyedihkan meski dikandung dari Sang Hyang Pramesti, Bathara Guru. Penguasa Jonggring Selaka ini menjadi tertawaan para dewa, bagaimana mungkin putera dewa berwujud kera putih, tanpa menyadari ‘jangkaning lelakon’. Timbul kesadaran para dewa membangkitkan semangat patriotisme mereka akhirnya meneladan dan hampir semua dewa berputera kera berbulu seperti candra dan warna kulit mereka. Dengan Aji Maundri Hanoman mampu menghancurkan gunung Sumawana, nafSU, MAksiat, haWA, NA. Artinya mampu mengendalikan “keempat nafsu dasar manusia.

 HANGGODO, berbeda dengan Anoman, putra Subali, Guwarsa ini dilahirkan oleh Bethari Toro karunia Sang Hyang Pramesti ketika bersama Sugriwo menumpas penguasa kerajaan Guakiskenda. Kesalahpahaman Sugriwo menangkap isyarat Subali, bila sungai Cincing Guling menghanyutkan darah putih tandanya Subali gugur. Darah merah tercampur darah putih hanyut bersamaan, diperkirakan Subali gugur dalam pertempuran bersama Mahesa Sora dan Lembu Sora. Anggodo dibesarkan Sugriwo setelah gugurnya Subali ditangan Rama Regawa meski memiliki aji Pancasona.

 GUAKISKENDA memiliki himpunan pasukan berbadan binatang dengan kesaktian sesuai naluri masing-masing, Sugriwo dinobatkan sebagai raja. Sugriwo, Anggodo yang berwujud kera kedatangan Anoman dengan pasukan kera anak para dewa memperkuat pasukan Guakiskenda. Secara pisik Mahesasora telah sirna namun keangkaramurkaan bersambung dengan kelahiran Rahwana kemudian Kurawa juga terkontaminasi keangkaramurkaan yang semakin canggih, diprediksi Bharata Yudha sebagai perang nuklir kala itu seirama dengan DJANGKA, ramalan para tua-tua.”,

DJANGKA, DJANGkahing Kala (waktu), perjalanan waktu ciptaan berwujud kera ini dipimpin Hanoman sang Senopati berhasil menghacurkan pasukan raksaksa dan mengakhiri keangkaramurkaan DASAMUKA. Keangkaramurkaan tidak lenyap tetapi berlanjut dalam diri setiap manusia (jagad alit) yang mengandung empat unsur pokok jagad gede. DAHANA, Geni, Api, Merah adalah Nafsu Marah digambarkan Rahwana, BANTALA, Bumi, Tanah, Hitam adalah Nafsu Serakah, rakus digambarkan Kumbakarna, TIRTA, Banyu, Air, Kuning Nafsu Sex digambarkan Sarpakanaka dan MARUTA, Angin, Akasa, Hawa, Putih Nafsu Kesucian digambarkan Gunawan Wibisana. Kempatnya ada dalam jagad gede maupun manusia. Pertanyaannya kapan matinya keangkaramurkaan manusia, Sujiwo Tejo menyebut “Titi Kala Mangsa”, tanpa akhir, langgeng, “hingga pupusing jaman”. TITI KALA MANGSA Sujiwo Tejo

Kera (KETEK) dalam pewayangan disejajarkan dengan manusia yang belum mencapai tingkatan “manusia sejati”. “Sejatine Manungsa” hanya mungkin dicapai dengan kesadaran diri “mempet hawa”, “hawa kang dur hangkara”, yang bersumber dari keempat unsur alam tersebut. Nafsu angkara digambarkan sebesar raksaksa Mahesasora, Lembusora, Jatasora, Rahwana, Kumbakarna dapat dimatikan oleh kesaktian manusia biasa yang belum mencapai kesejatiannya. Keempat angkara murka itu hanya bisa dikendalikan HANOMAN, HA (jiwa Rasa) NA (titik)-NO (titik masalah yang ditaling dan ditarungi) MAN(ungsa).

HANOMAN DUTA di “OBONG” Indrajid. Setelah mendapatkan bukti kesetiaan DEWI SINTA pada RAMA yang menjadi misi utamanya, dibarengi kekhawatiran Dewi Trijatha yang paham keganasan raksaksa Alengka. Hanoman berniat memporakperandakan Alangka. Hanoman tidak mempan dibakar, dengan kesaktiannya menyebar kobaran api membakar seluruh negeri. “Bumi gonjang ganjing langit kêlap-kêlip, katon lir kincanging alis”, Bumi bergerak (gempa), langit berpenjaran, kilat menyambar-nyambar, terjadi kegaduhan, ambyar. HANOMAN OBONG

Titip BUMN ke Erick Thohir, RINI SOEMARNO Berlinang Air Mata (23/10). Jelang Masa Jabatan Berakhir, kumpulkan 143 CEO BUMN, rapat tertutup itu dilakukan dua minggu sebelum Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo berakhir. “Ini untuk memantapkan langkah menghadapi tantangan di 2020”. Turut hadir dalam rapat koordinasi BUMN itu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akhirnya mengetahui bahwa PT PANN berdiri sejak 1974. “BUMN-nya sudah lama tapi enggak populer, maka Pak Misbakhun dan saya sama-sama enggak pernah dengar”. Kesempatan lain Erick Thohir didepan Komisi VI DPR, memastikan bakal memperbaiki bisnis masing-masing BUMN. “Bagaimana perusahaan leasing kapal ini bisa hidup kalau sejarahnya juga ada bisnis leasing pesawat terbang. Apalagi, mohon maaf, tiba-tiba ada bisnis hotel, yang ujung-ujungnya hanya menggemukkan diri dan diisi kroni-kroni atau oknum”. Berniat kembalikan PT PANN dan anak-cucunya ke bisnis inti atau core business”. (Tempo, Senin, 2/12/19).

Sangat menarik hasil penelitian Kementerian BUMN bahwa terjadi saling gugat-menggugat antar perusahaan negara. ARYA mengungkap “Terdapat 13 kasus yang kami data dan ketahui. Ini akan kami coba untuk ke depannya tidak lagi seperti ini. Harusnya bisa didudukkan sama-sama, sebagai keluarga besar, lucu kalau antar BUMN saling gugat”. ERICK mengaku pergantian kepemimpinan tersebut tergantung pada kebijakan masing-masing BUMN. “Mungkin sampai tahun depan (ada pemanggilan), kan ada 142 BUMN, kalau setahun 365 hari, kalau 142 BUMN dibagi 365 hari setiap 3 hari ada yang diganti,”   AMBYAR.

 SINDHUNATA (Romo, penulis) “Anak Bajang Menggiring Angin” memahami syair AMBYAR (Didi Kempot) tentang ujian, keterujian, diujinya “kesetiaan” seorang pacar, disandingkan dengan perutusan (Duta=caraka) Hanoman, si KETEK Putih ke Alengka, “uji kesetiaan” Sinta kepada Rama. Fenomena pacaran ini diperluas ‘uji kesetiaan punggawa, sentana, pamong praja kepada Narendra (visi-misi presiden)’. Romo Sindhu menyitir Serat Sabda Jati: “Para djanma sadjroning djaman pekewuh, kasudranira andadi, dahurune saja darung, keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus nora katon”. Dalam BUMN, ketatanegaraan, koalisi maupun oposisi pada NKRI, “kasudranira” watak sudra, hina  andadi, dahurune saja darung” (budi nista manusia makin menjadi-jadi).

Terpilihnya Eric Tohir dan penempatan Ahok diduga akan memporakperandakan tatanan negara, pemerintahan, terutama badan usaha milik negara. Kondisi ini yang mengkhawatirkan 142 pimpinan setingkat  direktur BUMN binaan Rini Sumarno. Beberapa BUMN dikatakan manja, selalu minta tambahan dana, investasi (uang, peser, RINI) untuk menutupi kerugian. Menurut KBBI, RINI [ri•ni], kata benda, artinya ‘peser; rimis’ sepeser artinya sak uang, satu rupiah, ringgit (Malaysia). Kata sepadan dengan rini adalah ringkus ringsek ringsing; paribasan, peribahasa “rini rinitis rinjing rinoskop” artinya dibocorkan uang berakibat keranjang tengkurap (tercurahkan).

AMBYAR artinya bercerai-berai, juga berarti berpisah-pisah, tidak terkonsentrasi lagi, hancur gak karuan. Pikirannya ambyar gak konsen akibat “sadjroning djaman pekewuh” terjadi berbagi kursi menteri (jabatan) untuk partai koalisi pemenang pemilu. Sementara pihak partai oposisi tidak diharapkan memperoleh peran, penempatan mereka berakibat kebakaran (kobong) di Alengka ulah Hanoman menimbulkan koalisi yang oposan. “Anoman Obong” yang dibawakan SOIMAH dibarengi Zainatul Hayat (INA) mempesona. Kisah Anoman Obong dipastikan berakibat AMBYAR, paling sedikit Pikiran Ambyar, gak konsen.

 SWUH REP DATA PITANA.  Swuh werdine sirna, Rep swasana tentrem, Data angesti, mencari dan melaksanakan Pitana luhur. Sirna segala bentuk halangan, berdampak kehidupan tentram karena mendahulukan sikap luhur, budyayu luhuring budi daya. PUTIH sikap bersih, suci sedangkan KETEK (Kera, monyet) menunjukkan tinggi rendahnya derajad kemanusiaan dari sisi kesucian. Dalam pewayangan dikenal Hanoman, sementara di China dikenal Sun Go Kong sebagai panutan. Falsafah negeri China yang cukup dalam adalah “3 MONYET BIJAKSANA”. Figur 3 ekor monyet duduk berdampingan satu menutup matanya “janganlah melihat yang tidak baik”. Kedua menutup mulutnya “janganlah berbicara yang tidak baik” dan yang ketiga menutup telinganya dengan kedua telapak tangan “janganlah mendengar yang tidak baik”. Falsafah arahan Romo Sindhu punya dua sisi, sisi kebaikan dan juga sisi keburukan, ada kesamaan dengan falsafah Aksara Jawa, HA(pik) – (ha)LA, “Kosok Balen”.

Bisa milah-milih yang benar (hapik) dan yang salah (hala) marGAne suka basuki bait pertama Serat Sabdajati, terkandung Sandiasma RONGGA WARSITA. Nama yang disandikan dalam bait lagu, menjadi arahan wong Jawa mencapai kemanunggalan. Kemanunggalan terutama keatas dengan Gusti Kang Akarya Jagad dan semuanya itu perlu diwujudkan dalam kemanunggalan kesamping, artinya kepada sesamaning hurip. Aywa pegat ngudiya RONGing budyayu, marGAne suka basuki, Dimen luWAR kang kinayun, kalising panggawe SIsip. Ingkang TAberi prihatos. RONGGA WARSITA

RONGGA, RONGing budyayu, marGAne suka basuki. Rong artinya lubang, dalam bahasa Jawa juga disebut leng (teleng). Kata teleng artinya pusat atau inti. Telenging Ati bukan berarti lubang tetapi pusat atau inti hati, hati sanubari. Merenung, meneliti secara mendalam dalam pusat hati semua gejolak baik-buruk, benar-salah, hak-wajib, hurip-mati, bungah-susah, tinggi-rendah adalah langkah-langkah, tahapan “berpikir radikal”. Hasilnya ‘diunggahke-diudhunke’ dipertimbangkan dalam ketiga jiwa cipta, rasa dan karsa melalui otak dengan matang adalah margane, jalan menuju kedamaian (suka basuki). KALISING (terhindar dari) panggawe (perbuatan) SISIP (salah, sesat).

Keempat nafsu alamiah (naluri) manusia ‘anglimputi’, menyelimuti tiga Jiwa (CIPTA, RASA dan KARSA) yang dipicu Panca Indera. Otak sebagai database (penyimpan data) sekaligus berperan sebagai alat komunikasi antar ‘jagad ginelar’, ‘panca indera’ dengan ketiga jiwa Cipta, Rasa yang membangkitkan Karsa, keinginan. Penyimpangan niat mencapai keinginan ini yang membentuk sikap serakah, kerakusan dan ketamakan digambarkan mirip sikap, watak, naluri kera. Artinya tidak lagi memikirkan kepentingan orang lain. Masalahnya makin membesar ketika kelompok, group, atau partai secara politis punya kepentingan. AMBYAR itulah jawaban yang mungkin paling tepat.

Sapa sing ra gela yen digawe Kuciwa AMBYAR” ketika oposan mendapat peluang menduduki kursi menteri. Berkonspirasi dengan memeluk partai oposisi lain yang kecewa merasa ditinggalkan. “Apa ngene iki sing jenenge korban janji”. Bertopeng menjalin ketulusan beroposisi, tetap mendukung pemerintahan dalam hal-hal yang memang dibutuhkan masyarakat namun akan bersikap ‘radikal’ terhadap program yang menyesatkan. KOALISI-OPOSAN mencoba berpikir benar, menemukan ‘bener sejatine bener’ dalam kondisi Pikirannya Ambyar, terkait gonjang-ganjing BUMN. Aywa pegat ngudiya (menemukan) RONGing budyayu (akal budi yang baik) dalam jaman PAKEWUH.

Keadaan serba sulit, pakewuh terjadi pada zaman Kala Bendu, penuh kutukan. Di zaman itu seolah semua upaya manusia mandul tanpa guna. Orang kehilangan kepercayaan akan perbuatan baik karena selalu gagal. Akibatnya kebaikan tidak populer untuk dikerjakan, yang terjadi kemudian penyimpangan meraja lela. Beberapa orang yang teguh pada keyakinan, kemudian terbawa, hanyut ikutan berbuat sudra (hina). Akibatnya kehinaan menjadi hal yang lumrah (salah yang dibenarkan). “Wis ngono ya wis ben” memang sudah begitu dan kalau tidak demikian malah kelihatan aneh. “Apike piye, ya thithik edhing”, bagaimana baiknya, ya bagi rata sedikit-sedikit. “Wis kebacut Ambyar, Ambyar kaya ngene

Dalam serat Sabda Jati, zaman pakewuh banyak menjangkiti para orang pandai yang sebenarnya tahu aturan agama, paham aturan moral tetapi terpaksa ikut arus. Dalam tingkat sosial tindak-tanduk rusuh semakin menggejala. Kata ndarung, melantur, tak dapat dicegah, masyarakat sebagian besar ikut arus. Amat menyedihkan ketika sekeluarga ‘bunuh diri’ didepan rumah peribadatan lain. “Keh  tyas (hati) mirong (membangkang). Ewuh pekewuh di zaman Kala Bendu ini terjadi banyak kesalahan (aksara LA) yang harus disadari dan berbalik,  dibalik kembali ke aksara HA (baik), dengan “Nyuwun Pangapura. Kidunge Ati pangruwat bangsa sak nagari. Sunan Bonang, Kidung Ati Tangise Bumi.

Kontroversi menteri pendidikan yang diragukan karena usia mudanya, merasa perlu memangkas masa belajar, sehingga dalam usia 18 tahun telah mencapai gelar doktor. Dewasa ini cukup banyak muatan ilmu pengetahuan, sementara ilmu pendidikan termasuk psikologi, ilmu jiwa anak, ilmu jiwa perkembangan, ilmu jiwa massa, termasuk didaktik-methodik pembelajaran. Guru tidak mendidik hanya sekedar mengajar, kapan bisa “diGUgu dan di tiRU”, dipatuhi dan diteladan. Perebutan kursi Menteri Pendidikan pasca era Daoed Joesoef  memporakperandakan (ambyar) dunia pendidikan. Mirong (membangkang)Murang (menyimpang)Margi (jalan), menyimpang dari jalan kebenaran, korupsi pameran buku yang tidak pernah diungkap, termasuk penyusupan paham perbedaan agama, cara berpakaian sudah terjadi di tingkat PAUD. Ma’ruf menambahkan, agar paham radikal itu tidak berkembang di dunia pendidikan, maka Ma’ruf menginginkan agar sejumlah elemen masyarakat bersama-sama mulai mengawasinya mulai dari hulu hingga ke hilir. Sehingga tidak ada celah bagi penganut paham radikal untuk berkembang. (INDOPOLITIKA.COM, 30/11/2019).

Demikian juga pengangkatan staf khusus milenial, hampir semua berpendidikan luar negeri yang baik,  menjawab kebiasaan selama ini kursi menteri diperebutan Ketua Umum Parpol pada usia tua. Generasi penerus dalam usia muda harus diberi kesempatan belajar memimpin, ini bentuk pengakuan atas kesalahan masa lalu. Cukup banyak milinial lulusan terbaik di luar negeri tidak mendapatkan posisi di negeri sendiri. Gugur seumur 20 hari sebagai menteri meski lulusan terbaik di luar negeri, memiliki beberapa hak patent atas keberhasilannya di negeri Sam.

Memang diperlu kecermatan menunjuk dan mengharapkan seorang pemimpin BUMN, lembaga, departemen. Menempatkan menteri dan wakil menteri berusia di bawah 40 tahun, Menteri Pendidikan 35 tahun, dan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 32 tahun. Dengan harapan generasi tua duduk manis sebagai sesepuh, pinisepuh yang siap “Ing ngarso sung tuladha; Ing madya mangun karsa; Tut wuri handayani; Holopis kuntul baris Ayo Dadi Siji”. Inilah konsepsi social movement Jawa yang dipopulerkan oleh bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, selama ini sudah ditinggalkan lebih memilih sisi negatif falsafah ‘3 Monyet’.  Sabdatama Dance Yogyakarta.

Pamungkase kang dur angkara (akhir dari angkara), titi kala mangsa (pada suatu ketika). Dur angkara tidak bisa dimatikan melainkan dikendalikan, dijauhkan ‘anyirnaake tumindak ingkang luput’ dengan ihlas memaafkan, penuh pengampunan, penuh rasa kasih (tresna). “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (1 Korintus 13:2 ). Sumangga!!. Rahayu!. Ki-Sardjito.-

Leave a comment