MARANG GAMBARANING

DEWI SAWITRI, DEWI SUKESI dan DEWI DRUPADI perempuan yang sarat dengan kemuliaan, dalam pewayangan ditampilkan berbeda dengan tokoh perempuan lain. Dewi Sinta, Dewi Anggraini dan Dewi Sembadra ditampilkan penuh kelembutan, cinta kasih dan kesetiaanya sebagai isteri. Bathari Durga, Dewi Kekayi, Dewi Anggendari dipenuhi dengan rasa dengki dan iri hati yang membara hampir tidak bisa dipadamkan dan banyak menimbulkan keonaran dalam masa hidupnya. Peran wanita dalam pakem pewayangan

Raja Ashvapati usianya menua, belum juga dikaruniai seorang anak, kemudian melakukan ritual Agni Hotra, membaca Gayatri Mantra, melakukan persembahan kepada Bunda Illahi Savitri, sumber sinar dari sang surya, lahirlah Dewi Sawitri nama sebagai penghormatan kepada Bunda Ilahi. Dalam Veda, Savitri adalah Dewa Matahari dan salah satu dari para Aditya. Namanya dalam bahasa Sanskerta berarti pendorong, pembangkit, atau pembuat hidup (URIP). (Fragmen Sawitri-Setiawan ini terukir jadi relief pada Candi Penataran Blitar. Candi Hindu yang dibangun tahun 1194M,  yang mengukir figur manusia pada reliefnya mirip dengan figur wayang kulit).

 DEWI SUKESI putri Prabu Sumali raksaksa sakti Raja Alengkapura, merindukan kesempurnaan hidup kembali sebagai ksatria. Risau hatinya ketika Dewi Sukesi hanya bersedia menikah dengan siapapun yang mampu menjabarkan Sastrajendra Hayuningrat, Pangruwate Diyu. Ngelmu yang mampu mengikat dan membebaskan keinginan, pikiran seseorang seturut ciptanya, namun penyimpangan perilaku berdampak balik menimpa dirinyanya. Prahastha seorang ksatria mengintip, mencuri dengar wejangan Sastrajendra berubah wujud menjadi raksaksa, sebaliknya Prabu Sumali kembali menjadi ksatria. Perkawinan Dewi Sukesi dengan Begawan Wisrawa mengungkap ngelmu pembebasan manusia dari pengaruh Diyu (raksaksa) yaitu sifat kemelekatan, kebencian dan kebodohan batin sumber utama kejahatan. Keserakahan (lobha) yaitu sifat kemelekatan, Dosa adalah rasa kebencian dan iri hati sedangkan Moha menekan pada kebodohan batin.

Penghancuran noda-noda batin agar pikiran terbebas dari noda keinginan indrawi, noda kehidupan, dan noda kebodohan batin. Sidharta Gautama menyadari sumber kelahiran-Nya sudah dihancurkan; hidup suci sudah dijalankan; apa yang harus dilakukan sudah dilakukan; tiada lagi kelahiran kembali di alam mana pun juga, “inilah berakhirnya penderitaan”. Selamat hari TRI SUCI WAIZAK kebahagiaan menyertai anda, keluarga dan negara tercinta. Kita Bhineka! Kita Tunggal Ika!  Rahayu!.

Ngelmu yang menjabarkan ‘cara berpikir’, olah cipta  yang baik memperoleh wujud, terlahir baik dan sebaliknya. Sangkaning Dumadi, awal mula kelahiran dan terciptanya tehnologi modern adalah penciptaan, kreativitas berpikir yang bersumber dari perubahan yang terjadi di alam semesta, ‘law attractif’. Rahwana, Kumbakarna, Sarpakanaka dan Gunawan Wibisana terlahir dari perilaku Wisrawa dan Sukesi ketika jiwa cipta, rasa, karsa berada dibawah kuasa panca indera-nya, sembilan perabot titipan Gusti ini dikenal sebagai BABAHAN HAWA SANGA.

 DEWI DRUPADI, istri Puntadewa, Pandhawa mampu menangguk hujatan, penghinaan dan menjalani penderitaan dalam pembuangan selama 13 tahun dengan penuh kesabaran dan cinta kasih. Saat penyamaran pandhawa di Wirata menangis, melihat tetesan darah putih Puntadewa ketika dilempar Sadak Kinang oleh Prabu Matswapati kakeknya. Keramas menggunakan darah Dursasana sumpah seorang wanita mensucikan diri, mensucikan SASANA, Istana kemungkaran (DUR) dalam hati sanubari. Gugurnya Kurawa dan anak-anak Pandhawa dalam Bharata Yudha pada dasarnya adalah ngracut semua sikap DUR dalam sanubari manusia, termasuk Resi Dewa Brata teladan kebaikan (brata). Sikap pencapaian kasampurnaning pati, menuju Kemanunggalan Kawula Gusti, perjalanan hidup manusia, Paraning Dumadi (KEMATIAN), pandhawa muksa disertai DEWI DRUPADI.

 Lakon Dewi Sawitri, Dewi Sukesi  dan Dewi Drupadi dalam pewayangan ini WANITA diperankan, yang selama ini dinominasi sebagai ‘kanca wingking’, ‘swarga nunut, naraka katut’. Artinya peran wanita dibawah kendali pria. Arab Saudi satu-satunya negara yang tidak memperbolehkan perempuan mengemudikan kendaraan. Secara umum, para perempuan tidak menikmati kebebasan layaknya kaum laki-laki. Khaled Abou el Fadl dalam Speaking in God’s Name menjelaskan secara gamblang bagaimana pengekangan terhadap perempuan yang karena faktor budaya patriarkhal yang dibalut dengan diktum dan adagium keagamaan. https://news.detik.com/kolom/d-3661732/gerbang-kesetaraan-perempuan-arab-saudi

MAGABATHANGAmarang gambaraning bathara ngaton, menyiratkan alam kehidupan dimana Ingsun dengan bimbingan Guru Sejati ditopang Bayu Sejati (angin, nafas) MANTHENG, konsentrasi ‘NGRAcut’ busananing manusia. Renungan aksara JAWA dari HA hingga NGA memberi tuntunan, makna luas dan mendalam rahasia jati diri manusia sebagai utusan (Caraka). Mempersiapkan bekal kebaikan saat ‘bali mula-mulanya’, kembali. Caraka Balik dari NGA naik sampai HA, membuka “rahasia” jalan rahayu ‘pangruwating diyu’, yaitu Ngracut Busana, mengembali semua ageman, bekal, titipan yang diterima dari Gusti kang Murbeng Dumadi saat lahir.

DEWI SAWITRI (Sansekerta) berarti pendorong, pembangkit, atau pembuat hidup. Dalam Veda dipercaya sebagai perwujudan Bunda Illahi SAVITRI, Dewi Sawitri tahu dari Bathara Naradha umur SATYAWAN suaminya tinggal setahun. Dialog dengan Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) sangat intent dan mampu mengubah takdir mati bisa bali (MA). “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.” (Joh  15:7-8). Cintanya kepada Satyawan mampu menghidupkannya kembali, “ngurip-urip titah kang urip”. Yang mati itu raganya, jiwanya tidak pernah mati,  “Cinta-kasih abadi adanya. Dan, setiap orang yang hidup dalam kasih tidak pernah mati. Kematian pisik bukan rohani, jiwa cinta kasih mereka hidup terus. Semangat mereka untuk mengasihi dan berbagi kasih tidak pernah mati.

MA: madep mantep manembah marang illahi, “jikalau kamu tinggal di dalam Aku”, ‘kawula pitados ing Allah’ ungkapan iman, kepercayaan “dumateng (marang) Gusti ingkang Maha Suci” memerlukan bukti laku budi pekerti baik, dengan mencitai sesama “kamu berbuah banyak”. Dewi Sukesi pada dasarnya telah menguasai Sastra Jendra demikian juga Dewi Sawitri perwujudan Bunda Illahi sangat menguasai sikap manembah tetapi dalam dialognya dengan Setyawan menempatkan diri dalam keingintahuannya bagaimana manembah. Satyawan selaku titah sudah PANA artinya, tahu, telah sampai, menguasai hal penembah tidak terasa diuji Bunda Illahi, menjawab semua pertanyaan dengan sabar. Hyang Widhi memberi bekal (borrowing) berupa PANA (bener), cipta-rasa-karsa dan dilengkapi dengan panca indera untuk hidup di dunia, dikenal sebagai praboting ngaurip. Sedang perintah perutusannya, tugasnya (ordering) adalah ALLAH, dalam aksara Jawa ditulis HA (baik) LA (salah) dipangku LA dan diakhiri HA mengandung maksud ‘hal yang baik jika dibalik menjadi salah (luput) kalau tahu hal yang luput segera diubah menjadi HA (apik)’.

Dalam kehidupan sehari-hari Dewi Sawitri adalah wujud IBU, mampu menghidupkan tetesan darah putih menjadi janin, melahirkan (mati bisa bali – trah) bayi dan memelihara sampai dewasa. Ibu, Mama, Mother, emak, mbok, memperoleh bekal ‘sebelas (11) babahan hawa’ dua lebih banyak dari pria yaitu 2 puting untuk menyusui bayi. Kelebihan ini memungkinkannya sebagai embok, wanita (ibu) tidak segan-segan nombok (menutup, mencukupi, menyusui) segala kekurangan anak-anak bahkan suami. Dengan penuh kesabaran dan cinta kasih membantu suami mengatasi persoalannya, mencapai karier tertinggi.

MARIA setelah bertemu Elizabet bermadah (Magnificat) : “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,” (Lukas 1:46-48) Firman, Sabda Bunda Illahi yang menyejarah jaman Kaisar Agustus, Romawi. Segala keturunan artinya segala bangsa memberi penghormatan kepada Maria, wanita yang sejak semula dipersiapkan “….. karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus” (Lukas 1:49). “Kelahiran Isa AS tanpa ayah, merupakan suatu bukti kekuasaan Allah SWT”. (Surah Maryam)

Perubahan nama Rumah ibadah yang terletak di Distrik Al Mushrif, Abu Dhabi bernama Masjid Shaikh Mohammad Bin Zayed, sejak Rabu, 14 Juni 2017, menjadi Mariam, Umm EisaMasjid Maria, Bunda Isa. Dalam ajaran Nasrani, Isa adalah Yesus. Seperti dikutip dari Gulf News, Jumat (16/6/2017), ada tujuan mulia yakni untuk mengeratkan hubungan kemanusiaan antar-pemeluk agama. https://m.liputan6.com/global/read/2992885/masjid-maria-bunda-isa-simbol-toleransi-di-uni-emirat-arab

 GA, mengikuti aksara MA, menjadi MAGA – Marga, dalan, awal perjalanan hidup manusia adalah MAMA, IBU, semua orang dilahirkan IBU. Aksara GA juga dapat dimaknai GARWA (isteri) sekaligus GARBA, Wadah, Kandungan, Rahim yang mewadahi Cinta Kasih, yang tidak pernah mati. Dalam pemahaman spiritual GA dikatakan sebagai Guru Sejati, lebih mengerucut disebut GUSTI. Guru Sejati kang muruki (mengajar). Hidup, kehidupan tidak cukup menguasai ilmu, kecerdasan intelektual yang terbatas yang diperoleh di bangku kuliah. Masih diperlukan ngelmu yang bersifat spiritual yang tak terbatas yang mendahulukan rasa-pangrasa, komunikasi dan relasi antar babahan hawa sanga/sewelas demi terciptanya keseimbangan dunia akhirat. Sumber segala sesuatu adalah Allah yang dipancarkan lewat IBU, WANITA (wani nata, mengatur, membenahi) yang juga Sang Guru Sejati/Ingsun/Rasul Sejati.

 GA-MA, lebih mudah didekati dalam pengertian agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Agama dalam bahasa Jawa diberi makna ageman, pakaian yang layak untuk manembah (‘Ilir-ilir, Sunan Kalijaga”). Kelayakan atau kepantasan ini lebih menekankan pengertian Agama adalah ‘aturan hidup’. Aksara HA adalah jiwa sedang GA identitas seorang pria MA (mama) ibu, identitas wanita adalah RA. HA- Jiwa, hurip yang me-RAGA masuk dalam tubuh manusia. Jadi Agama adalah HA (apik, urip) yang dibekali tubuh melalui, dengan perantaraan bapak, menjadi tanggung jawab seorang pria (ADAM=GA), digenapi dan dibekali jiwa, prabot-prabot 9 untuk pria dan 11 untuk wanita dalam perjalanan hidup tanggung jawab diserahkan pada wanita (HAWA=MA, roh-ruah, nafas, jiwa).  

 GENDER (GA) jenis kelamin, laki-laki berbeda dengan perempuan tapi SATU dalam tujuan namun berbeda dalam tanggung jawab. Kesatuan ini menjadi masalah ketika terjadi diskriminasi, pembedaan hak, perlakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih ada mindset orang dalam pembuatan peraturan yang menganggap konsep kesetaraan gender adalah konsep negara barat. Hambatan lain yaitu perlindungan perempuan dan anak-anak masih tidak cukup, apalagi isu-isu yang berkaitan dengan human-trafficking, kekerasan baik secara fisik maupun psikologis, kasus exploitasi wanita di beberapa negara. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) September 1981 dan diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984, menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Cukup banyak kesempatan diberkan kepada wanita baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Para wanita ini memegang peran yang begitu penting, seperti ditampilkan Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti dan Retno Lestari Priansari Marsudi.

Perubahan nyata pemahaman, penghargaan masyarakat internasional terhadap wanita telah terjadi akhir-akhir ini. Peranannya sebagai seorang IBU makin dipahami, semua tahu tidak seorangpun di dunia ini yang tidak dilahirkan oleh WANITA (MA-MA), bukan berarti tugas ibu hanya melahirkan. Peran Wanita selain sebagai ISTRI (garwa, sigarane nyawa) dia juga sebagai seorang SAHABAT (mitra, mitani-metani-menelisik rasa) suami dan IBU biyung, bibit yang dikandung sekaligus menjadi payung, pelindung. Penghargaan ini lebih dirasa menguat dengan diberlakukannya persyaratan di dunia perbankan (ATM) pendataan, identitas nasabah tidak lagi mencantumkan nama bapak, tetapi siapa ibu kandungnya.

BA– Bayu Sejati kang andalani (Dengan bantuan Bayu Sejati). Daya kekuatan sejati yang merupakan bayangan daya kekuatan Allah mendorong “pencapaian” tingkat spiritual yang lebih tinggi dan menyempurnakan. Bayu adalah angin, andalani adalah yang menggerakan maksudnya angin adalah sesuatu yang menggerakan kehendak manusia yang menyelaraskan kehendak (karsa) dengan gerak alam semesta. “Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh ” (Yoh 3:8). Bayu, ANGIN, hawa, nafas adalah salah satu bekal kelengkapan hidup disamping tiga unsur alam semesta lainnya. Kelengkapan, pakaian, BUSANA, ageman, penganggo, anggon-anggon, berupa empat anasir api (amarah), bumi (keserakahan), air (nafsu sex) dan ANGIN (kesucian) kepanditan. Angin adalah penentu hidup matinya seseorang.

BENER aksara Jawa BE dari Aksara BA dipepet artinya kebenaran, benar yang dirangkai dengan Aksara NA dipepet NER artinya pener, fokus, tembus tertuju pada Gusti. Kebenaran yang tembus pada Gusti kang Murbeng Dumadi ini yang dikenal sebagai kebenaran MUTLAK, hal ini dapat dicapai ketika manusia mau berpikir. Selama ini orang berpendapat, berpikir dengan otak yang benar adalah berpikir melalui otak. Selama ini belum dipahami betul-betul, otak hanyalah memory untuk menyimpan data yang dikirimkan panca indera, menjadi database. Hal baru yang diterima selalu dibandingkan dengan apa yang tersimpan, dilakukan pengolahan melalui cipta, rasa dan karsa menghasilkan suatu pemahaman baru dan tersimpan kembali dalam otak.

Kesalahan berpikir banyak terjadi karena prakmatisme, praktis, ‘amrih gampange’, tidak mau banyak berpikir, untuk mendapat kebenaran (berpikir benar) seseorang harus banyak berpikir. Banyak berpikir hanya dicapai bila memikirkan orang lain. Egoisme adalah hasil berpikir untuk diri sendiri, kelompok sendiri tidak sedikit usaha kearah ini bahkan dirasa ada unsur kesengajaan agar terjadi penyesatan (berpikir).

Hidup adalah perjalanan, sejak lahir, hidup dan menunggu saat mati, penyesatan berpikir manusia menyebut tujuan hidup, cenderung bersifat ego duniawi. Padahal manusia diutus untuk memperindah dunia yang penuh keindahan menjadi semakin indah. “memayu hayuning kulawarga, negara dan Buwana lebih luas Bawana”. Nampak perkembangan tehnologi penerbangan dan angkasa luar, tehnologi kedokteran makin disempurnakan. Tidak ada tujuan hidup manusia, yang benar perjalanan hidup ‘bali mula mulanya’.

THA– ‘Thenging dwista tan ana kang kaesthi’, mantheng, konsentrasi, meditasi. Thukul saka niat menuju ‘paraning dumadi’ didasari kesucian, tanpa (sepi) kehendak, keinginan ataupun pamrih keduniawian, dasarnya adalah cinta/kasih Illahi. “Pikiran sudah terbiasa untuk mengembara keluar begitu sering, sehingga sangat sulit sekali untuk mendiamkan pikiran. Saya pernah membaca dalam Alkitab bahwa jalan menuju kegagalan (duniawi) adalah lebar dan jalan menuju sukses (surga) adalah sesak dan sempit” (wot ogal-agil). “Kita harus berjuang untuk melawan pikiran agar dapat bermeditasi” (Maharaj Charan Singh, ‘Mati selagi hidup’; 306-307 halaman 234)

BA-THA diberi arti Bathang (mayat) dan juga teka-teki BATANGEN (tebaklah) artinya carilah jawaban yang benar, apakah kematian merupakan batas akhir, atau awal kehidupan kekal?. Umpama sebuah kalimat hidup dimulai sejak lahir mengalami perubahan wujud koma (,) badan hidup yang diperoleh melalui ADAM mengalami mati, sedangkan badan roh yang diperoleh melalui HAWA (kekal) melanjutkan perjalanannya mencapai titik (PANA). Disediakan waktu yang sama sepanjang usia (70 tahun) di dunia, lebih dari batas waktu itu tidak akan pernah menemukan GUSTI. Roh manusia terpental dalam kelompok roh halus, jim, setan, BERHALA. Telalu banyak yang tidak mencapai PANA dibatas waktu (titik). Hal ini terbukti dengan semakin canggihnya penyelewengan dan perbuatan jahat bahkan dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok. Terjadinya kesurupan masal, para siswa-siswi yang sedang berwisata dalam jumlah besar di berbagai daerah.

NGA– Ngracut busananing manungsa (MATI), sanepan singkat ini memerlukan perenungan kanthi ‘neng, ning, nung dalam hati’. Lahir-Hidup-Mati, mati bagi kebanyakan orang merupakan hal yang menakutkan, meski mereka tahu hal itu pasti terjadi. Ungkapan sinisme “Hidup yang diawali dengan sebuah tangisan, harus diakhiri dengan sebuah senyuman. Ketika engkau masih bayi, orang-orang disekitarmu tetap tersenyum walaupun engkau terus menangis. Ketika engkau mati, orang-orang disekitarmu akan menangis meratapi kehilangan, perpisahan ini. Namun engkau semestinya tersenyum dalam damai dan mengundurkan diri dengan tenang.” (Das, Sai. 2012. SAI ANAND GITA Kidung Mulia Kebahagiaan Sejati. – Koperasi Global Anand Krishna Indonesia).

Dalam Hindu Dharma disebutkan bahwa terlahir di alam ini merupakan kelahiran yang sangat mulia yang bertujuan sebagai proses agar dapat memperbaiki karma masa lalu kita untuk tahap kehidupan selanjutnya. Karena hidup ini bukanlah suatu tujuan, melainkan sebuah perjalanan. Jadi “mati” adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama, masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai  manusia yang memiliki peradaban budaya.

NGracut, artinya mengurai, melepaskan prabot-prabot, api-air-angin dan tanah (bumi) perlengkapan yang disertakan bersama kelahiran manusia. Asal api kembali ke api, asal air kembali ke air asal angin kembali ke angin, asal bumi “Ingsun” tidak kembali ke bumi melainkan NGAngkasa, kekal, abadi (muksa). Tersenyumlah ketika mencapai kematian karena kita telah mengembalikan semua titipan yang telah membantu perutusan kita kedunia dan berterima kasih kepada Gusti ‘asal mulane dumadi’. Hanacaraka, Datasawala, Padhajayanya, Magabathanga dibaca dari atas Sangkaning Dumadi – Ngathabagama, Nyayajadhapa, Lawasatada, Karacanaha dibaca dari bawah Paraning Dumadi.

Pancen abot jroning ati, ninggal ndika wong sing dak teresnani, nanging bade kados pundi, yen kawula sak dermo nglampahi”.  Petikan syair lagu “PAMITAN”, karya Gesang terlintas makna Gesang (hidup) bakal Bali Mulih. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Bali pulang pergi perlu mempersiapkan bekal. Perjalanan menuju kemanunggal dengan Gusti, bekal yang utama adalah ‘sesuatu yang baik (apik=HA) jangan dibalik menjadi luput (ala=LA) dan bila salah (LA) segera kembali ke yang baik (HA)’. Berbuat baik dan memberi teladan baik “Jadilah terang” (Kej 1:3), “Percayalah kepada terang itu, selama terang itu ada padamu, supaya kamu menjadi anak-anak terang”. (Yoh 12:36), ‘paring pepadhang”, membebaskan sesama dari kemelekatan duniawi, memikirkan kepentingan orang banyak, menjauhkan egoisme. Hamemayu memperindah, Hayuning ciptaan yang sudah indah, Bawana tercipta di dunia dengan langkah Hamemayu Hayuning Kulawarga, Hamemayu Ayuning Bangsa (negara), Hamemayu Hayuning Buwana (dunia), Hamemayu Hayuning Bawana Gung, Jagad Raya, Semesta Alam. Sumangga!! Rahayu! Ki-Sardjito.-

Leave a comment